Dalam menjalankan suatu bisnis, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) bukan sesuatu yang haram asal dilakukan sesuai dengan aturan main yang berlaku dan membawa manfaat bagi semua pihak.
Sebagaimana diketahui, pada beberapa bidang memang kita masih memerlukan keahlian dari para TKA, atau bisa saja TKA ada karena investasi/pendanaan/teknologi suatu proyek berasal dari negara tertentu sehingga mereka membawa tenaga ahli ke Indonesia.
Perlu ditekankan bahwa TKA yang boleh direkrut adalah yang berada di level tenaga profesional dengan keahlian khusus, bukan buruh kasar tanpa keahlian, ataupun mungkin keahlian TKA tersebut sebenarnya masih bisa digantikan oleh tenaga lokal.
Aturan terbaru yang mengatur penggunaan TKA di Indonesia adalah Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Di sana, sudah diatur dengan baik terkait syarat-syarat yang harus dipenuhi, baik bagi pemberi kerja maupun TKA itu sendiri.
Dan untuk mengawal proses pelaksanaannya, pemerintah juga sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Salah satu contoh syarat yang harus dipenuhi pemberi kerja adalah memfasilitasi pendidikan dan pelatihan Bahasa Indonesia kepada TKA yang dipekerjakannya.
Sedangkan syarat-syarat untuk TKA sendiri, juga sudah diatur ketat di UU No.13/2003, yang salah satunya tentang kewajiban ‘knowledge transfer’ ke Tenaga Kerja Lokal.
PLTU Meulaboh Unit 3 & 4
PLTU Unit 3 & 4 berkapasitas 2 x 200 MW, yang berlokasi di Meulaboh, Aceh Barat adalah pembangkit listrik milik swasta, atau lebih di kenal dengan sebutan Independent Power Producer (IPP).
Ini berbeda dengan PLTU Unit 1 & 2 di Nagan raya, walau dibangun dengan pendanaan dari China & kontraktor dari China, tapi pembangkitnya adalah langsung milik pemerintah dalam hal ini PT PLN (Persero).
Pendanaan dan pemilik dari PLTU Unit 3 & 4 adalah konsorsium China Datang Overseas Investment, PT PP (persero) & PT Sumberdaya Sewatama (Trakindo Group).
Dalam project konsorsium seperti ini, umumnya anggota konsorsium membagi tugas, ada yang fokus di finansial, pembangunan, dan juga operasi serta maintenance.
Dan biasanya, karena teknologi pembangkit (boiler & turbin) dari China harganya hanya 1/3 jika dibandingkan dari Jepang/Europe/US, maka teknologi yang di pakai dari China sehingga pihak China lah yang bertugas sebagai tukang bangun, atau di kenal dengan istilah main EPC (Engineering, Procurement & Contruction).
Main EPC (EPC utama) ini lah yang ditunjuk resmi oleh konsorsium pemilik untuk membangun PLTU termasuk commisioning sampai Commercial Operation Date (COD)/hand over.
EPC utama juga menunjuk sub EPC dan vendor vendor, baik besar maupun kecil, untuk membantu mereka dan semua bertanggung jawab kepada mereka.
Selain menunjuk EPC utama, pemilik pembangkit (IPP) juga membentuk perusahaan khusus (PT Meulaboh Power Generation) yang nanti setelah proyek selesai, perusahaan itu yang melakukan atau menjalankan Produksi/ Operasi & Pemeliharaan pembangkit, di mana listrik yang di hasilkan akan di jual ke PLN sesuai Purchase Power Agreement (PPA).
TKA China yang saat ini datang ke lokasi proyek adalah mungkin bagian dari EPC utama/Sub EPC/Vendor dan semuanya dikoordinasi oleh China Datang Overseas, yang merupakan salah satu konsorsium pemilik.
TKA dan Investasi
TKA di proyek PLTU Meulaboh Unit 3 & 4 ini menjadi isu hangat di media dan masyarakat Aceh saat ini. Masyarakat melihat, meski di tengah pandemi Covid-19, mereka terus berdatangan, protokol kesehatan mereka juga abu abu dan yang mirisnya juga di temukan beberapa dari mereka menggunakan visa tourist bukan visa kerja.
Dengan visa tourist, maka kewajiban-kewajiban sebagai TKA sangat mungkin tidak terpenuhi, misalnya tanpa upaya untuk ‘knowledge transfer’.
Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa mereka bisa lolos dengan mudah?
Kalau saja Dirjen Tenaga Kerja di pusat dan konsorsium pemilik, berkoordinasi baik dengan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Barat & Kabupaten Nagan Raya, tentu saja lolosnya TKA asal China yang tidak sesuai Perpres dan UU ketenagakerjaan-TKA, tidak akan pernah terjadi.
Konsorsium yang mewakili PT Meulaboh Power Generation harus melapor siapa TKA yang mereka datangkan dan pihak terkait (dari pusat sampai daerah) juga harus mengecek semua syarat tanpa kompromi.
Masih adanya yang lolos, menurut hemat saya terletak pada kelengahan pusat dan juga dinas terkait di bawahnya, sehingga hal ini menyebabkan gejolak sosial masyarakat dan merembet kemana-mana.
Memang kita butuh investor, tapi aturan dan UU harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan sempurna. Permasalahan sosial dan image yang ditimbulkan karena kurangnya kontrol ini bisa menyebabkan iklim investasi di Aceh menjadi seram dan suram.
Tak ayal juga menyebabkan proyek molor, adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan situasi dan sebagainya. Selain itu, para investor juga perlu memberikan penghormatan terhadap lokal sebagai dasar untuk sustainability-nya
Tantangan dan Solusi
Masalah kesenjangan eksekusi masih menjadi tantangan kita. Semua UU, aturan, strategi dan goal sudah ada, tapi di level eksekusi kita masih tergopoh gopoh, sangat loyo.
Kita di indonesia termasuk di Aceh, tidak menghadapi masalah strategi, kita menghadapi masalah eksekusi.
Goal yang jelas dan disiplin akan sangat membantu meningkatkan standard eksekusi yang unggul. Kita juga butuh pemerintah yang cepat dan tegas dalam eksekusi serta investor yang tahu aturan main dan taat aturan.
***
Hamdani Bantasyam (Industrial Practitioner/Sekretaris Jenderal Indonesia Chemistry Power Generation Association)