ASPEK.ID, JAKARTA – PT Krakatau Steel (Persero) Tbk merencanakan untuk melakukan penjualan aset tak produktif dalam rangka penyelesaian utang perusahaan senilai 2,2 miliar dolar AS.
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk adalah salah satu Badan Usaha milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor produksi baja dan berdiri secara resmi pada tahun 1970.
Pada 10 November 2010, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk berhasil menjadi perusahaan terbuka dengan melaksanakan penawaran umum perdana (IPO) dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Direktur Utama PT Krakatau Steel, Silmy Karim mengatakan, proses restrukturisasi utang atau penyelesaian utang perusahaan ditargetkan bisa selesai dan rampung pada Desember 2019 ini.
“Saya bisa sampaikan sekarang sudah tinggal sedikit lagi kita bisa selesaikan yang berkaitan dengan restrukturisasi utang jadi 100 persen. Semangat kita bisa selesaikan bulan Desember ini dengan potensi tidak lebih dari Januari (2020) bisa selesai,” kata Silmy Karim dilansir laman Antara di Jakarta, Jum’at (13/12/2019).
Dijelaskannya, skema yang dipilih untuk dilakukan dalam penyelesiaan utang tersebut yaitu dengan menjadwal ulang tenor pembayaran utang menjadi 10 tahun dan tinggal pembahasan dengan empat kreditor, yakni CIMB Niaga, Standard Chartered, OCBC dan DBS.
“Kemudian dengan cicilan yang bersahabat dengan kemampuan secara bertahap. Tapi soal nilainya berapa dan persentasenya, saya tidak bisa disclose,” katanya.
Menurut Silmy, jika berhasil rampung, maka proses itu menjadi restrukturisasi utang terbesar yang ada di Indonesia.
“Ketika ini selesai, artinya kami bisa kembali memiliki napas untuk bisa menata kembali dalam konteks manajemen, produksi dan sebagainya untuk mengembalikan performance KS lebih baik,” ujarnya.
Selama ini perseroan dikatakannya telah melakukan berbagai inisiatif. Namun, diakuinya proses yang ada tidak mulus. Ia pun menegaskan terus berupaya agar perseroan mendapatkan harga terbaik dan tak ditekan pembeli dengan harga murah.
“Jual perusahaan itu tidak seperti jual produk-produk konsumen. Perlu ada proses penilaian, proses due diligence sampai masalah aspek hukum legalitas. Jangan sampai kifa jual cepat-cepat, karena kalau cepat-cepat kan harganya murah. Ingat, 2,2 miliar dolar itu besar sehungga kita perlu waktu dan cara yang baik,” jelasnya.