Oleh: Ilham Saputra [Mahasiswa Pascasarjana FISIP UI]
***
Pemerintah Selandia Baru sejak tahun 2020 telah mengambil langkah-langkah berani untuk menghentikan laju penyebaran Covid-19. PM Jecinda Ardern memimpin langsung pengambilan keputusan cepat dan tepat dalam menganggulangi wabah Covid-19.
Kebijakan penanganan Covid-19. Kebijakan penanganan pandemi Covid-19 didasari oleh langkah-langkah untuk mengelola pandemi influenza.
Untuk alasan yang baik, mengingat pengalaman dengan pandemi influenza 1918. Perencanaan ini secara tepat didasarkan pada model mitigasi, dan fokus tentang penundaan kedatangan influenza, dan berbagai tindakan untuk ‘meratakan kurva’ pandemi.
Pendekatan ini kemungkinan memerlukan respons ‘lockdown’ yang berkepanjangan yang dapat berlangsung selama berbulan-bulan hingga vaksin yang efektif atau antivirus tersedia.
Tetapi Covid-19 bukanlah pandemi influenza. Potensi untuk menahan penyebarannya belum cukup teruji bahkan di Selandia Baru sendiri. Perbedaan ini sebagian besar merupakan fungsi biologi dan epidemiologi infeksi ini.
Infeksi Covid-19 memiliki masa inkubasi yang lebih lama (median 5-6 hari) dibandingkan influenza (1–3 hari).
Masa inkubasi ini memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi dan mengisolasi kasus serta melacak dan mengkarantina kontak agar berhasil, tetapi mungkin hanya jika dilakukan dengan cepat dan efektif.
Terdapat lima strategi yang dapat dipilih untuk menghadapi Covid-19, yaitu
A. Exclusion: Tindakan maksimum untuk menghilangkan penyakit;
B. Elimination: Tindakan maksimal untuk menyingkirkan penyakit dan menghilangkan rantai penularan;
C. Suppression: Tindakan untuk menekan jumlah kasus dan wabah dengan cara yang ditargetkan;
D. Mitigation: Tindakan untuk meratakan kurva dan melindungi kelompok paling rentan;
E. No substantive strategy: menghasilkan pandemi tidak terkendali (Witton 2020)
Selandia Baru memiliki waktu yang singkat untuk melaksanakan rencana kebijakannya sebelum pandemi tiba di Selandia Baru dengan kasus Covid-19 pertama di 28 Februari 2020. Selandia Baru memiliki pilihan utama kebijakan penanganan pencegahan Covid-19 dengan pendekatan eliminasi.
Secara teknis, eliminasi adalah pemberantasan suatu penyakit menular di tingkat negara atau regional, dengan istilah eradication dicadangkan untuk kepunahan global suatu organisme. Eliminasi penyakit telah diterapkan pada berbagai penyakit menular pada manusia dan hewan, meskipun seringkali diperlukan vaksin yang efektif.
Selandia Baru menerapkan strategi eliminasi secara resmi pada 23 Maret 2020. Selandia Baru dapat memanfaatkan pengalaman kesehatan masyarakat dalam mengeliminasi berbagai penyakit menular pada manusia dan hewan.
Secara khusus ada pelajaran yang dapat dipetik dari strategi eliminasi campak dan rubella meskipun dengan perbedaan bahwa kita belum memiliki vaksin yang efektif untuk COVID-19 pada tahun 2020.
Secara khusus ada pelajaran yang dapat dipetik dari strategi eliminasi campak dan rubella meskipun dengan perbedaan bahwa kita belum memiliki vaksin yang efektif untuk COVID-19.
Pengalaman masa lalu telah mengajarkan Selandia Baru bahwa ada tiga faktor yang penting untuk keberhasilan eliminasi:
1) sistem surveilans epidemiologi dan laboratorium yang berkinerja tinggi;
2) sistem kesehatan masyarakat yang efektif dan adil yang dapat memastikan pemberian intervensi yang tinggi secara seragam ke semua populasi, termasuk kelompok yang terpinggirkan (dalam hal ini intervensi difokuskan pada diagnosis, isolasi kasus dan karantina kontak daripada vaksin); dan
3) kemampuan untuk mempertahankan program nasional dan memperbarui strategi untuk mengatasi masalah yang muncul.
Elemen penting dari strategi eliminasi untuk COVID-19 mencakup
- Kontrol perbatasan dengan karantina berkualitas tinggi untuk pelancong yang masuk;
- Deteksi kasus secara cepat yang diidentifikasi melalui pengujian luas, diikuti dengan isolasi kasus secara cepat, dengan pelacakan kontak yang cepat dan karantina untuk kontak;
- Promosi kebersihan secara intensif (etika batuk dan cuci tangan) dan penyediaan fasilitas kebersihan tangan di tempat umum;
- Jarak fisik intensif, saat ini diterapkan sebagai penguncian (peringatan level 4) yang mencakup sekolah dan penutupan tempat kerja, pembatasan pergerakan dan perjalanan, dan tindakan tegas untuk mengurangi kontak di ruang publik, dengan potensi untuk melonggarkan tindakan ini jika eliminasi berhasil;
- Strategi komunikasi yang terkoordinasi dengan baik untuk menginformasikan kepada publik tentang langkah-langkah pengendalian dan tentang apa lakukan jika mereka menjadi tidak sehat, dan untuk memperkuat pesan promosi kesehatan yang penting.
Namun, penguncian (lockdown) memiliki biaya sosial dan ekonomi yang besar, dan kemungkinan besar menjadi sangat sulit bagi mereka yang sumber daya ekonomi paling sedikit.
Tanggapan Pemerintah mencakup berbagai intervensi untuk mendukung kelompok-kelompok ini, termasuk paket dukungan ekonomi utama dan pemberhentian sementara kenaikan sewa hunian (apartemen).
PM Jecinda Ardern meyakinkan warganya untuk “Bersatu Melawan Covid-19,” dengan berulang kali menyebut negaranya sebagai sebuah “tim yang terdiri dari lima juta (our five million team).”
Cara ini telah membantu memenangkan dukungan publik untuk penutupan Selandia Baru. PM Jecinda Ardern telah membuktikan bahwa untuk mengatasi krisis, pemimpin harus mengindahkan saran ilmuwan.
Kepercayaan PM Jecinda Ardern pada ilmu dan teknologi memberi sumbangan besar bagi keberhasilan penanganan Covid-19. Baker menegaskan, PM Ardern mengikuti saran ilmuwan sebagai exit strategy terhadap Covid-19, seperti penguncian negara secara penuh, tidak membuka sekolah, tidak ke tempat bekerja, tidak melakukan pertemuan sosial, memakai masker, dan pembatasan perjalanan, dalam mengontrol penyebaran Covid-19.
PM Ardern menyampaikan pesan-pesan kepada warganya melalui briefing harian secara komunikatif dengan memperkenalkan konsep-konsep yang membantu rakyatnya menjadi lebih tenang, seperti konsep “bubble”, untuk membuat rakyat tetap tinggal di dalam rumah.
Efektivitas kepemimpinan PM Ardern menunjukkan tingginya tingkat good governance di Selandia Baru. Keberhasilan Selandia Baru dalam menghadapi pandemi, selain karena kepemiminan efektif PM Ardern, juga didukung oleh berbagai elemen nasional. Pejabat senior, di bawah pimpinan direktur jenderal kesehatan Dr. Ashley Bloomfield, tampil mengesankan di masa krisis (Duncant 2020).
Para menteri dan pejabat publik juga bekerja sebagai tim solid. Jajaran pemerintah, mulai dari perdana menteri hingga stafnya di tingkat yang lebih bawah, seperti pegawai negeri dan petugas kesehatan, mereka bekerja sepanjang waktu untuk mendukung upaya nasional.
Mereka memainkan peran penting dan menunjukkan kekompakan, termasuk sistem politik, layanan publik, pakar kesehatan, kaum oposisi, dan sebagian besar hampir 5 juta penduduknya.
Bahkan saat pemimpin Partai Nasional, Simon Bridges, mengadakan public hearing secara daring untuk menjelaskan situasi yang sedang terjadi, sebagian besar pihak oposisi menghadirinya. Pihak oposisi memberi masukan kritis namun konstruktif pada pemerintah dalam merespon krisis tersebut.
Sekali pun terdapat perbedaan pendapat pada awalnya tetapi mereka menghindari silang pendapat yang bertujuan untuk mencari keuntungan masing-masing. Pihak oposisi bahkan mendukung keputusan PM Ardern yang memutuskan untuk memotong anggaran sektor publik sebesar 20 persen untuk masa enam bulan ke depan.
Pada 8 Juni 2020 Selandia Baru menyatakan kemenangannya (jumlah kasus positif 0) melawan wabah virus Corona dengan melonggarkan jarak sosial dan fisik, sampai pada level 1 (Setelah 10 minggu penguncian).
Di tahun 2021, tepatnya 17 Agustus PM Ardern kembali mengunci (lockdown) Selandia Baru setelah temuan 1 kasus positif varian Delta Covid-19. Hingga tanggal 27 September 2021 Selandia Baru masih menerapkan penguncian nasional level 4.
Sejak satu bulan penguncian nasional dilakukan total sudah ada 1,177 kasus positif varian delta dengan jumlah kasus positif baru 12.
Jika kebijakan PM Arden dibandingkan dengan kebijakan pencegahan penyebaran Covid-19 di Indonesia, maka akan terdapat perbedaan besar dalam menangani Covid-19 sebagai sebuah pandemi.
Pada 15 Maret 2020 Presiden Jokowi menyampaikan sebuah pidato mengenai arahan bekerja dari rumah, beribadah di rumah, dan belajar Online (bagi pelajar dan Mahasiswa).
Presiden Jokowi juga menjelaskan tentang mekanisme pemberian bantuan ekonomi untuk kelompok yang bekerja harian dan kelompok terdampak (PHK) akan dilaksanakan selama masa bekerja dari rumah.
Tidak ada ucapan mengenai lockdown. Presiden Jokowi sendiri telah berkomunikasi dan meminta arahan WHO. Jokowi mengatakan hasil komunikasi dirinya dengan WHO adalah Indonesia tidak perlu melaksanakan lockdown nasional. Pertimbangannya saat itu, bahwa ekonomi Indonesia dalam keadaan tidak siap untuk menerapkan sistem eliminasi seperti Selandia Baru.
Lockdown mengharuskan Pemerintah RI memenuhi kebutuhan ekonomi karena banyak sektor yang tidak bisa bekerja dari rumah, contohnya pekerja harian.
Pada 31 Maret 2020 Presiden Jokowi memberikan pidato mengenai PSBB Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang kurang lebih berpinsip suppression jika kita mengacu pada konsep yang diajukan oleh Witton.
Ini adalah soft lockdown dengan masih memperbolehkan sektor strategis seperti listrik, telekomunikasi, bahan makanan, mineral gas bekerja untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, sementara itu untuk pemenuhan kebuuhan ekonomi kelompok terdampak Pemerintah mempersiapkan bantuan sosial berupa sembako.
Jika mengacu pada Perundangan, maka undang-undang yang adalah Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. PSBB juga berasal dari pasal 59 Undang-Undang Karatina Kesehatan. Jika pemerintah mengambil pilihan lockdown atau karatina wilayah maka yang digunakan adalah pasal 53 hingga 55.
Persoalan terdapat di pasal 55. Dimana pasa Pasal (1) disebutkan Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Adapun untuk konteks pelaksanaan teknis aturan karatina wilayah dan distribusi bantuan di pasal (2) disebutkan Tanggung jawab penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.
Hal ini yang membuat Pemerintah RI tidak memilih opsi elemination atau lockdown, melainkan suppression atau PSBB. Indonesia yang secara geografis kepulauan tidak bisa menghentikan supply and chain perdagangan dan pasokan kebutuhan pokok. Hal ini akan membuat daerah di luar Pulau Jawa kesulitan memenuhi kebutuhan yang didistribusikan dari Ibukota.
PSBB kembali diulangi pada saat 3 Juli 2021 varian delta masuk dan menyebar dengan sangat cepat di Indonesia. Bedanya, pemerintah mengganti istilah dengan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Dari kedua pelaksanaan suppression tersebut, memang terbukti dapat mengendalikan penyebaran ke titik minimal.
Akan tetapi memang, kekurangannya adalah Indonesia tidak pernah mencapai titik ideal seperti di gelombang pertama (8 Juni 2020) Selandia Baru mencapai 0 kasus positif atau bebas pandemi covid-19.
Yang kedua adalah pelaksanaan PSBB berlarut-larut bahkan hingga berjumpa dengan PPKM. Berbeda dengan lockdown terukur Selandia Baru yang didasari taerget 0 jumlah kasus sehingga tahu kapan harus mengakhiri sebuah lockdown.