Hoaks seputar politik semakin beragam di tengah rangkaian Pemilihan Umum atau Pemilu 2024, namun berdasarkan catat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) jumlah mengalami penurunan.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria mengatakan, ada kecenderungan kuantitas hoaks dan politik identitas menurun di sepanjang musim kampanye Pemilu serentak 2024.
“Meskipun tak sepenuhnya menghilang, namun kita juga mencermati ada penurunan pemakaian politik identitas. Dan kita cukup mau apresiasi hal itu. Masyarakat kita juga semakin dewasa dengan pengalaman Pemilu dua kali dan Pilpres sebelumnya,” dikutip dari situs resmi Kementerian Kominfo, Selasa (30/1/2024).
Sejak 1 Juli 2023 hingga 24 Januari 2024, Kementerian Kominfo telah mengidentifikasi sebanyak 195 temuan isu hoaks terkait Pemilu yang tersebar pada 2.825 konten.
“Dari jumlah tersebut, 1.546 konten telah kami tindak lanjuti, sedangkan sisanya masih dalam proses,” tutur Nezar.
Nezar mengungkapkan, pemanfaatan media sosial secara masif memungkinkan penyebaran hoaks berlangsung dengan sangat cepat. Hoaks tersebut pun mempengaruhi persepsi masyarakat dalam kontestasi politik yang masih berlangsung.
“Kita bersyukur kali ini kelihatannya politik identitas tidak lagi menjadi wacana dominan dalam perbincangan-perbincangan atau persaingan-persaingan di tengah pilpres ataupun pileg kali ini,” ujar Nezar.
Menurut Nezar, perbedaan pilihan politik merupakan sesuatu yang wajar dalam iklim demokrasi. Oleh karena itu, setiap orang perlu bersikap lebih bijak.
“Kedewasaan berdemokrasi dalam Pemilu 2024, mutlak diperlukan dalam semua aspek di masyarakat, mulai dari individu menyerap informasi, hingga media massa yang bertugas menyajikannya secara jujur dan berimbang,” ungkapnya.
* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Meskipun ada kecenderungan menurun, Wamen Nezar Patria tetap mengingatkan semua pihak mewaspadai narasi hoaks yang mengarah ke black campaign dengan menggunakan berbagai macam medium. Salah satunya penggunan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang memungkinkan pembuatan dan penyebaran konten bermuatan hoaks lebih mudah dan cepat.
“Dulu (Pemilu 2019) ada beberapa hoaks menggunakan AI, tetapi waktu itu masih mudah dikenali. Sekarang, jauh lebih smooth karena generative AI yang mampu menghasilkan teks juga suara serta gambar sangat coherence, smooth, sehingga kita agak sulit membedakan dengan yang asli,” jelasnya.
Pemanfaatan AI untuk pembuatan dan penyebaran hoaks di Indonesia masih relatif baru. Meski di berbagai negara sudah banyak digunakan sejak generatif AI muncul kira-kira 3-4 tahun yang lalu.
“Nah, itu hal baru dalam penyebaran hoaks tahun ini. Dan ini bukan khas Indonesia karena banyak digunakan di berbagai momen pemilu di berbagai negara untuk menyebarkan hoaks. Bukan saja cuma Pemilu, tetapi juga ada hoaks yang berkaitan dengan kesehatan, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya,” paparnya.
Oleh karena itu, Nezar mengajak semua pihak bisa mengantisipasi penggunaan teknologi AI untuk pembentukan dan penyebaran narasi hoaks.
“Pemanfaatan AI seperti deepfake untuk pembuatan konten hoaks menjadi salah satu hal yang perlu diantisipasi dan ditanggulangi bersama,” tandasnya.