ASPEK.ID, JAKARTA – Permasalahan rangkap jabatan petinggi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejatinya telah mendapatkan perhatian publik. Perhatian tersebut makin intens sejak tahun 2017.
Hingga pada 28 Juni 2020, Komisioner Ombudsman, Ahmad Alamsyah Saragih, kembali mengemukakan bahwa terdapat ratusan jabatan di BUMN terindikasi rangkap jabatan.
Dari hasil temuan Ombudsman, selama tahun 2019 terdapat 397 komisaris yang diketahui rangkap jabatan, 167 komisaris di antaranya rangkap jabatan pada anak perusahaan BUMN. Hingga saat ini jumlah data ini terus diverifikasi sesuai dengan status keaktifan yang masih berlaku.
Jabatan komisaris rangkap jabatan yang terbanyak didominasi dari kementerian yang mencapai 254 orang (64 %), diikuti Lembaga Non Kementerian sebanyak 112 orang (28 %) serta dari Perguruan Tinggi 31 orang (8 %).
Berturut-turut Kementerian yang terbanyak yaitu Kementerian BUMN (55 orang), Kementerian Keuangan (42 orang), Kementerian Perhubungan (17 orang), Kementerian PUPR (17 orang), dan Kementerian Sekretaris Negara (16 orang).
Begitu pula dengan Lembaga Non Kementerian berturut-turut diisi oleh TNI (27 orang), Polri (13 orang), Kejaksaan (12 orang), Pemda (11 orang), BIN (10 orang) dan BPKP (10 orang).
Sedangkan untuk Perguruan Tinggi, tercatat dari 16 Perguruan Tinggi berturut-turut diisi oleh Universitas Indonesia (9 orang) dan disusul Universitas Gajah Mada (5 orang), dan Perguruan Tinggi lainnya.
Persoalan ini menjadi perhatian Ombudsman dengan didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Pada pasal 17 poin (a) disebutkan secara jelas bahwa Pelaksana (pelayanan publik) dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD.
Pasal tersebut memberika aturan yang absolut terhadap larangan yang tidak diperbolehkan dilakukan oleh pelaksana pelayanan publik. Pada poin (e) juga disebutkan bahwa pelaksana dilarang melanggar asas penyelenggaraan pelayanan publik.
Dalam hal ini dapat disebutkan bahwa asas profesionalitas dalam pelayanan publik telah dilanggar. Lebih lanjut pasal 54 ayat (7) UU Pelayanan Publik juga jelas menyebutkan bahwa sanksi terhadap pelanggaran ini adalah pembebasan dari jabatan.
Selain itu, peraturan perundang-undangan yang juga menjadi dasar yang memperkuat pandangan Ombudsman juga diperkuat dengan UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara pada pasal 33 dijelaskan bahwa, anggota Komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai:
(a) anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau
(b) jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Larangan rangkap jabatan pada UU Tentang BUMN ini jelas dimaksudkan agar anggota Komisaris benar-benar mencurahkan segala tenaga dan pikirannya dan/atau perhatian secara penuh pada tugas, kewajiban dan pencapaian tujuan Perusahaan.
Terutama yang lebih penting menhindari kemungkinan adanya konflik kepentingan yang akan timbul sebagai dampak.
Tidak hanya terbatas pada UU Pelayanan Publik dan UU BUMN, larangan terhadap rangkap jabatan juga disebutkan secara jelas pada UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pasal 28 ayat 3 UU Polri menyebutkan, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Hal yang cenderung sama juga disebutkan pada Pasal 47 ayat 1 UU TNI bahwa, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Kedua pasal ini semakin mempertegas bahwa persoalan rangkap jabatan TNI dan Polri diluar kedinasan tidak dibenarkan dan melanggar peraturan perundang-undangan.
Narasi yang terjadi kemudian, permasalahan rangkap jabatan bisa dikatakan semakin berkembang dan seakan diperbolehkan semenjak adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Pada PP Disiplin PNS tidak disebutkan larangan menjabat komisaris pada perusahaan BUMN maupun swasta, hanya berkaitan pada larangan untuk terlibat pada politik kepartaian dan pemilu.
Hal ini menjadi asumsi sesat para pejabat pelayanan publik yang notabene-nya merupakan Pegawai Negeri Sipil untuk terlibat rangkap jabatan pada BUMN.
Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga berpandangan hal ini dilihat dari aspek kewajaran tanpa menyandarkan pada landasan legalitas hukum.
Arya berpandangan pemerintah sebagai pemegang saham pasti menempatkan perwakilannya untuk menempati posisi komisaris di BUMN, maka hal yang wajar jika diisi dari kementerian teknis yang berkaitan dengan teknis perusahaan tersebut.
Pernyataan ini tidak hanya mengabaikan peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur larangan terhadap rangkap jabatan di BUMN maupun BUMDaerah, namun juga semakin membuka tabir adanya persaingan usaha yang tidak di Indonesia antara BUMN dengan perusahaan swasta.
Iklim yang terbentuk kemudian dari nilai kewajaran yang disebutkan adalah penentu/penikmat jasa (pejabat pemerintah) menjadi bagian dari penyedia jasa (BUMN).
Sebut saja misalnya yang terjadi adalah pejabat di salah satu Kementerian Teknis menjadi Komisaris pada BUMN yang berkaitan, maka kemungkinan BUMN tersebut mendapatkan pekerjaan langsung dari kementerian tersebut akan semakin lebih besar dibandingkan pelaku usaha swasta.
Pekerjaan yang dimaksud disini tidak termasuk pekerjaan yang bersifat penugasan oleh Negara untuk dikerjakan BUMN, seperti tugas Public Service Obligation (PSO).
Dalam rangka mengantisipasi peraturan perundang-undangan yang akan digunakan sebagai landasan kebijakan yang dikeluarkan mengenai rangkap jabatan, Kementerian BUMN pun mengeluarkan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-10/MBU/10/2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN.
Pada Permen ini disebutkan, bagi bakal calon dari Kementerian Teknis atau Instansi Pemerintah lain, harus berdasarkan surat usulan dari instansi yang bersangkutan. Selain itu Permen BUMN ini juga membuat pasal pengecualian, dimana rangkap jabatan yang diperbolehkan adalah yang bersifat penugasan khusus Menteri.
Hal ini menciptakan kerancuan pada penafsiran perundang-undangan dimana Peraturan Menteri bertentangan dengan Undang-Undang yang secara hierarki berada di bawah UU sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dikeluarkan Permen BUMN tersebut juga mendapat respon Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan menyampaikan temuan rangkap jabatan yang ada di berbagai sektor BUMN.
KPPU menemukan 31 direksi atau komisaris di sektor keuangan yang melakukan rangkap jabatan, 12 direksi atau komisaris di sektor pertambangan, dan 19 direksi atau komisaris di sektor konstruksi.
Bahkan, terdapat satu direksi atau komisaris yang merangkap jabatan di 22 perusahaan non BUMN. KPPU melihat persoalan rangkap jabatan ini bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dimana Pasal 26 menyebutkan seseorang yang menjabat direksi atau komisaris dilarang rangkap jabatan pada perusahaan yang memiliki kesamaan bidang dengan dirinya menjabat.
Dengan kata lain, permasalahan rangkap jabatan yang terjadi di BUMN secara langsung maupun tidak langsung mengabaikan Undang-Undang yang secara jelas dan tegas melarang seseorang untuk memegang mandat jabatan rangkap.
Secara substansial, hal tersebut jelas bertujuan untuk menghindari kemungkinan konflik kepentingan, namun di sisi lain sebagai pejabat Negara akan mendapatkan pendapatan ganda juga yang bersumber dari keuangan Negara.
Di samping itu, rangkap jabatan juga dapat berdampak pada penguasaan sumber daya pada kelompok tertentu saja yang secara bersamaan mengenyampingkan kelompok yang lain.
Sementara di sisi lain, Indonesia saat ini bisa dikatakan berada pada kondisi surplus sumber daya manusia potensial yang bisa dimanfaatkan menjadi kelompok profesional yang berperan penting menjaga uang Negara yang dititipkan di BUMN dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Dampak lainnya dari praktek rangkap jabatan yang terjadi adalah semakin kuatnya BUMN dalam mengontrol proyek-proyek Negara tanpa memberikan kesempatan bagi perusahaan swasta untuk bersaing secara adil dan transparan.
Dampak-dampak tersebut sebagian kecil dari dampak langsung yang dirasakan oleh pelaku usaha maupun rakyat yang seharusnya menikmati ekosistem bisnis maupun pemerintahan yang laik.
Negara harus hadir dengan menjalankan dan mengimplementasikan perundang-undangan secara benar. Karena sebagai Negara hukum, penerapan UU merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan.
Melalui hal itu, Indonesia bisa menciptakan sistem yang adil dan transparan bagi semua. Jangan sampai pengabaian terhadap UU menjadi pembiaran yang sistematis hanya dengan berlandaskan peraturan yang secara hierarki berada dibawah kewenangannya.
***
Almufarid C. Gadeng, M.IP
Analis The Perfekto Indonesia