ASPEK.ID, JAKARTA – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara resmi telah mengangkat Dana Amin sebagai Direktur Utama PT Aneka Tambang atau Antam (Persero) Tbk dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) di Hotel Borobudur di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2019.
Selain Dana Amin yang diangkat sebagai Direktur Utama menggantikan Arie Prabowo Ariotedjo, pemegang saham juga mengangkat Anton Herdianto sebagai Direktur Keuangan menggantikan Dimas Wikan Pramudhito serta Rosono menjadi Direktur Pengembangan Usaha menggantikan Sutrisno S.
Sementara itu, jajaran Dewan Komisaris juga dirombak, dimana Agus Surya Bakti diangkat sebagai Komisaris Utama PT Antam (Persero) Tbk, menggantikan Fachrul Razi yang sebelumnya telah diangkat sebagai Menteri Agama RI.
Nama Dana Amin sejatinya tidak asing di kalangan internal baik itu di perusahaan pelat merah maupun di Kementerian BUMN sendiri karena dia telah lama berkarir di dunia pelabuhan dan logistik.
Lulusan Universite du Havre, Prancis angkatan 1997 jurusan pengembangan pelabuhan serta Geoteknik ITB angkatan 1989 ini sebelumnya pernah menjadi Direktur Operasional PT Maersk Line Indonesia (Denmark) pada (2003-2009) dan Direktur Perusahaan Logistik PT Mitra Capital Investama (2010-2012).
Baca juga Antam Sedot Rp25 Miliar untuk Eksplorasi Emas
Di era Rini Soemarno, Menteri BUMN sebelumnya, Dana Amin dipercayakan sebagai Direktur Project Management Office (PMO) Holding BUMN Maritim yang sedang dipersiapkan saat itu.
Dana Amin sebelumnya juga pernah menjabat sebagai Direktur Operasi PT Pelindo II (2012-2014), saat jabatan Direktur Utama PT Pelindo II ditempati oleh RJ Lino, yang mundur pada tahun 2015 setelah ditetapkan KPK sebagai tersangka atas kasus pengadaan tiga unit QCC.
Disebutkan, RJ Lino menunjuk langsung PT Wuxi
Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd.) dari China sebagai penyedia barang yang rencananya
akan ditempatkan di Pelabuhan Panjang, Palembang dan Pontianak.
Menurut KPK, pengadaan tiga unit QCC tersebut tidak disesuaikan dengan
persiapan infrastruktur yang memadai, sehingga menimbulkan in-efisiensi atau
dengan kata lain pengadaan tersebut sangat dipaksakan dan suatu bentuk
penyalahgunaan wewenang dari RJ Lino demi menguntungkan dirinya atau orang lain.
Meski demikian, hingga kini KPK belum melakukan penahanan terhadap RJ Lino yang telah menyandang status tersangka sejak 2015 lalu. Proyek pengadaan QCC ini sendiri disebut bernilai sekitar Rp 100 miliar.